A. KESATUAN
NUSANTARA, TANGGAPAN TERHARAP PEMILU, DAN PRESIDEN IDEAL BAGI INDONESIA
Pengertian
Nusantara
Definisi
Nusantara. Secara etimologi, berasal dari dua kata, nusa dan antara. kata nusa
dalam bahasa Sanskerta berarti pulau atau kepulauan. Sedangkan dalam bahasa
Latin, kata nusa berasal dari dari kata
nesos yang menurut Martin Bernal bahwa kata nusa dapat memiliki dua arti, yaitu
kepulauan dan bangsa. Sedangkan antara memiliki padanan dalam bahasa Latin, in
dan terra yang berarti antara atau dalam suatu kelompok, antara juga mempunyai
makna yang sama dengan kata inter dalam bahasa Inggris yang berarti antar
(ntara dan relasi. Sedangkan dalam bahasa Sanskerta, kata ”antara” dapat
diartikan sebagai laut, seberang, atau luar.
Wawasan
Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan
lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan
persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam meyelenggarakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan
nasional. Cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan
lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan
persatuan dan kesatuan wilayah dengan tetap menghargai dan menghormati
kebinekaan dalam setiap kehidupan nasional untuk mencapai tujuan nasional.
Konsepsi
Wawasan Nusantara terdiri atas 3 unsur dasar :
• Wadah
(Contour). Meliputi, wilayah Indonesia yang memiliki sifat serba nusantara
dengan kekayaan alam dan penduduk serta aneka ragam budaya adalah bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Setelah merdeka NKRI mempunyai
organisasi kenegaraan yang merupakan wadah, bagi berbagai kegiatan kenegaraan
dala wujud Supra Struktur Politik dan berbagai kegiatan kemasyarakatan dalam
wujud Infra Struktur Politik.
• Isi
(Content). Isi adalah aspirasi bangsa yang berkembang di dalam masyarakat dan dicita-citakan,
serta tujuan nasional yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Isi menyangkut 2
hal yang esensial :
– Realisasi aspirasi bangsa sebagai
kesepakatan bersama dan perwujudannya dalam pencapaian cita- cita dan tujuan nasional.
– Persatuan dan kesatuan dalam kebinekaan yang
meliputi semua aspek kehidupan nasional.
• Tata
Laku (Conduct). Tata laku merupakan hasil interaksi antara wadah dan Isi yang
terdiri atas:
– Tata Laku Batiniah, mencerminkan jiwa, semangat
dan mentalitas yang baik dari bangsa Indonesia.
– Tata
Laku Lahiriah, mencerminkan tindakan, perbuatan dan perilaku bangsa Indonesia.
Kedua
hal tersebut mencerminkan jatidiri dan kepribadian bangsa Indonesia yang
berdasarkan kekeluargaan dan kebersamaan yang mempunyai rasa bangga dan cinta
terhadap tanah air dan bangsa sehingga menimbulkan nasionalisme yang tinggi
dalam semua aspek kehidupan nasional.
Asas
kesatuan nusantara terdiri atas: kepentingan yang bersama, tujuan yang sama,
keadilan, kejujuran, solidaritas, kerjasama, dan kesetiaan terhadap ikrar atau
kesepakatan bersama demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan dalam
kebhinekaan Indonesia.
B. Tanggapan
Terhadap Pemilu
Pemilihan
umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga
perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah
amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden
(pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung
oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres
sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.
Di tengah masyarakat, istilah “pemilu” lebih sering merujuk kepada pemilu
legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun
sekali.
Pemilihan
umum di Indonesia menganut asas “Luber” yang merupakan singkatan dari
“Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia”. Asal “Luber” sudah ada sejak zaman Orde
Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung
dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh
warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih
diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian
Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya
diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian
di era reformasi berkembang pula asas “Jurdil” yang merupakan singkatan dari
“Jujur dan Adil”. Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus
dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara
yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara
pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan
terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan
pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau
pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih
ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Serta
tanggapan terhadp pimilihan umum yaitu pemilu dinegara kita sudah mengalami
perubahan dan peningkatan dengan melakukan pemilihan secara langsung dengan
melihat calon yang sudah dipilih oleh setiap parpol, akan tetapi yang harus di
soroti adalah konstribusi parpol terhadap masyarakat awam dlm pendidikan
politik serta latar belakang calon presiden yang sudah diajukan oleh partai
tersebut apakah sudah layak menjadi presiden dan wakil presiden atau belum
menujukan prestasi. Dengan tidak hanya berfikir untuk kemenangan partainya
dengan pencintraan iming iming, setlah itu semua yang dijanjikan tidak
dijalankan dengan baik atau kata lain hilang begitu saja.
C. Calon
Pemimpin / Presiden ideal itu seperti apa?
1. Calon
pemimpin atau presiden ideal bagi Indonesia
Menjadi
pemimpin itu bukan soal kecerdasan, kharisma, komunikasi, tampilan, dan segala
macam atribut yang biasa dilekatkan pada figur pemimpin. Disebut pemimpin atau
tidak ini adalah soal ada atau tidaknya yang mengikuti. Hadirnya pengakuan dan
kepengikutan itu yang mengubah seseorang jadi pemimpin. Menjadi pemimpin adalah
soal pengakuan dari yang dipimpin, sebuah rumusan sederhana yang sering
terlupakan.
Seseorang
diakui sebagai pemimpin bila kepadanya diberikan kepercayaan. Pemimpin adalah
orang yang diikuti kata-kata dan perbuatannya.
Dia
diikuti karena dipercaya. Kepercayaan adalah pilar utama pemimpin. Kepercayaan
adalah kombinasi dari kompetensi, integritas, dan kedekatan. Ketiga faktor itu
meningkatkan tingkat kepercayaan. Tapi ada sebuah faktor yang mampu
memelorotkan kepercayaan memimpin yaitu self-interest dan dalam menyamakan
self-interestnya-nya dengan kepentingan kolektif bisa membuat pemimpin
mengalami erosi kepercayaan. Pemimpin terpercaya bisa selalu menomorsatukan
kepentingan kolektifnya. Kecintaannya pada kepentingan kolektif itu memberikan
efek yang besar. Kini dan kelak bangsa ini selalu membutuhkan pemimpin yang
mencintai bangsanya melebihi cintanya pada dirinya. Kehadiran pemimpin seperti
itu bisa luar biasa dahsyat dalam menggerakkan seluruh bangsa untuk meraih
cita-cita kolektif.
2.
Pemimpin dan pemimpi bedanya di huruf N. N-nya adalah Nyali.
Pemimpin
pada dasarnya adalah pemimpi. Pemimpi yang mimpi-mimpinya dipercaya dan
diikuti. Pemimpi yang mampu mengonversi mimpi jadi realita bisa disebut sebagai
pemimpin. Wajar jika pemimpin menitipkan mimpinya pada imaginasi, dan
membiarkan imaginasinya itu terbang amat tinggi lalu ia bekerja amat cerdas dan
keras menggerakkan seluruh daya yang tersedia untuk meraih dan melampaui
mimpinya. Disinilah sebuah huruf N sebenarnya itu mewakili komponen amat
kompleks menyangkut kemampuan meraih mimpi dan melampaui mimpi.
3.
Pemimpin selalu disorot.
Pemimpin
adalah manusia yang harus selalu menyadari kemanusiaannya dan sempurna bukanlah
atribut yang manusiawi. Karena itu pemimpin harus selalu sadar bahwa ia berada
dalam sorotan di saat ia jauh dari kesempurnaan. Efeknya simpel, pemimpin itu
jadi kotak pos untuk pujian dan kritikan. Maka itu jika tidak ingin dikritik
maka jangan sesekali mau jadi pemimpin. Pemimpin yang matang itu menjalani
perannya dengan menempatkan cita-cita bersama sebagai rujukan. Karena itu ia
matang dan mantap menjalaninya. Bisa dikatakan bahwa pemimpin yang tulus pada
cita-cita kolektifnya itu takkan terbang bila dipuji dan takkan tumbang bila
dicaci.
4.
Pemimpin yang kita ingin lihat adalah yang tidak mengejar penghormatan, tapi ia
menjaga kehormatan.
Penghormatan
itu memang bisa dipanggungkan dan bisa dibeli karenanya mudah didapat.
Sementara
kehormatan itu tidak untuk diperjualbelikan. Pemimpin yang gagasan
dan langkahnya terhormat, dengan sendirinya akan dapat kehormatan. Mencari rujukan
tentang pemimpin itu sesungguhnya mudah. Ada terlalu banyak contoh pemimpin di
sekitar kita. Di republik ini masih amat banyak pemimpin yang solid, yang
keteladanannya jadi rujukan, yang gagasannya diikuti, yang langkahnya
menginspirasi. Masalahnya adalah banyak dari mereka justru tidak berada di
panggung penting republik ini. Di panggung-panggung penting justru sering
ditemui orang-orang berkuasa tanpa kepemimpinan. Di sisi lain, banyak pemimpin
yang kepemimpinannya solid tapi tanpa kuasa dan otoritas. Jika kita menengok
pada sejarah negeri besar ini maka kita temui catatan gemilang sebuah generasi.
Republik ini didirikan oleh orang-orang yang berintegritas. Integritas itu
membuat mereka jadi pemberani dan tak gentar hadapi apa pun. Integritas dan keseharian
yang apa adanya membuat mereka memesona. Orang-orang yang sudah selesai dengan
dirinya. Mereka jadi cerita teladan di seantero negeri.
5. Hari
ini, republik membutuhkan pemimpin yang berani tegakkan integritas.
Berani
perangi “jual-beli” kebijakan dan jabatan, dan pemimpin yang mau bertindak
tegas kepentingan rakyat “dijarah” oleh mereka yang punya akses. Republik ini
butuh pemimpin yang bernyali dan menggerakkan dalam menebas penyeleweng tanpa
pandang posisi atau partai. Bukan pemimpin yang serba mendiamkan seakan tidak
pernah terjadi apa-apa. Pemimpin yang bisa jadi bersahabat tampilannya, sopan
dan simpel tuturnya, tapi amat besar nyalinya, dan amat tegas sikapnya. Tidak
selalu nyaring, tapi selalu bernyali karena nyali itu memang beda dengan
nyaring.
Republik
ini perlu pemimpin yang bisa mengajak semua untuk mendorong yang macet,
membongkar yang buntu, dan memangkas berbenalu. Pemimpin yang tanggap
memutuskan, cepat bertindak, dan tidak toleran pada keterlambatan. Pemimpin
yang siap untuk “lecet-lecet” melawan status quo yang merugikan rakyat, berani
bertarung untuk melunasi tiap janjinya. Republik ini perlu pemimpin yang
memesona bukan saja saat dilihat dari jauh, tetapi pemimpin yang justru lebih
memesona dari dekat dan saat kerja bersama.
Bukan
pemimpin yang selalu enggan memutuskan dan suka melimpahkan kesalahan. Bukan
pemimpin yang diam saat rakyat didera, lembek saat republik dihardik. Pemimpin
yang tak gentar dikatakan mengintervensi karena mengintervensi adalah bagian
dari tugas pemimpin dan pembiaran tidak boleh masuk dalam daftar tugas seorang
pemimpin. Kelugasan, ketegasan, keberanian, kecepatan, keterbukaan, kewajaran,
kemauan buat terobosan, dan perlindungan kepada anak buah bahkan kesederhanaan
dalam keseharian itu semua bisa menular. Tapi kebimbangan, kehati-hatian
berlebih, kelambatan, ketertutupan, formalitas, kekakuan, pembicaraan masalah,
orientasi kepada citra dan ketaatan buta pada prosedur itu juga menular.
Menular jauh lebih cepat dan sangat sistemik.
6.
Pemimpin bisa menentukan suasana.
Pemimpin
adalah dirigen yang menghadirkan energi, nuansa, dan aurora dalam sebuah
orkestra. Setiap pemain memiliki peran, dan tanpa dirigen-pun instrument musik
bisa dijalankan tapi orkestra itu tidak ada jiwa-nya. Pemimpin hadir membawa
suasana. Memberikan arah dan greget. Pemimpin membawa misi dan menularkannya
pada semua. Pemimpin meraup aspirasi dan energi dari semua yang dipimpinnya,
lalu mengkonversinya menjadi cita-cita kolektif dan energi besar untuk semua
bekerja bersama meraihnya. Memang pemimpin bukan dewa atau superman. Tidak
pantas semua masalah dititipkan, ditumpahkan ke pundak pemimpin.
7. Kita
amat membutuhkan pemimpin yang berorientasi pada gerakan.
Pemimpin
menjadikan semua merasa ikut memiliki tanggung jawab, merasa ikut memiliki
masalah. Pendekatannya movement bukan programmatic sehingga semua merasa
terpanggil untuk terlibat. Pemimpin yang bisa membuat semua merasa perlu
berhenti lipat tangan, lalu terpanggil untuk gandeng tangan dan turun tangan.
Pemimpin yang menggerakkan. Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan pemimpin
hadir untuk “menyeesaikan” tantangan dan masalah. Menyelesaikan tantangan dan
masalah itu baik-baik saja. Tetapi sesungguhnya yang diperlukan justru bukan
itu. Kita memerlukan pemimpin yang kehadirannya bukan sekadar hadir untuk
“menyelesaikan” masalah dan tantangan tapi kehadirannya untuk “mengajak semua
pihak turun-tangan” menyelesaikan masalah dan tantangan.
8. Kita
memerlukan pemimpin yang menginspirasi, membukakan perspektif baru, menyodorkan
kesadaran baru dan menyalakan harapan jadi lebih terang.
Pemimpin
yang membuat semua terpanggil untuk turun tangan, untuk bekerja bersama meraih
cita-cita bersama. Pemimpin yang kata-kata dan perbuatannya menjadi pesan solid
yang dijalankan secara kolosal. Kita memerlukan pemimpin yang menggerakkan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar